"Yang penting ada harapan, setelah suami mereka dibantai, anak lelaki dibunuh."
Sidang putusan gugatan pembantaian Rawagede yang dipimpin D.A.
Schreuder, Rabu 14 September 2011, memutuskan, Belanda bertanggung jawab
atas pembantaian di Desa Rawagede -- yang kini bernama Balongsari.
Dalil kadaluarsa yang dijadikan senjata pihak tergugat, ditolak
mentah-mentah.
Meski hakim menolak poin agar Pemerintah Kerajaan Belanda dikenakan
dakwaan kriminal atas kekejaman di Rawagede, Belanda diharuskan memberi
ganti rugi yang nilainya belum ditentukan.
Mendengar putusan itu, ratusan warga Desa Balongsari tadi malam yang
berkumpul di Monumen Rawagede sontak berteriak dan bertepuk tangan.
Banyak di antaranya yang meneteskan air mata.
"Warga sangat surprise. Ini di luar dugaan. Sebab, dua kali saya
ke belanda, di sana dianggap kasus yang kadaluarsa. Luar biasa hakim
mengabulkan gugatan kami," kata Ketua Yayasan Rawagede, Sukarman saat
dihubungi VIVAnews.com, Kamis 15 September 2011.
Putusan tersebut memberi setitik harap. "Para korban, janda yang
ditinggal suaminya dan jompo punya harapan untuk menikmati (kompensasi)
secepatnya. Keluarga yang ditinggal juga mengharap."
Sukarman menambahkan, dana kompensasi harus memperhitungkan dampak yang
ditimbulkan dari perbuatan para serdadu Belanda di hari kelabu, 9
Desember 1947 silam. "Dana harus diperhitungkan, rumah-rumah dibakar
saat kejadian itu. Juga masalah perekonomian, pengorbanan para janda
yang ditinggal suami. Saat itu, banyak janda yang terpaksa menjual rumah
dan tanah demi bisa bertahan hidup"
Warga, tambah dia, tak puas jika Belanda hanya sekedar minta maaf.
"Yang penting bagi kami, ada harapan bagi para korban, setelah suami
mereka dibantai, anak lelaki dibunuh," tambah Sukarman. "Bukan hanya
mengharap, sejauh mana pertanggungjawaban para pembantai, tapi juga
terkait kesejahteraan mereka."
Sementara, penolakan majelis hakim menerapkan dakwawan kriminal pada
pemerintah Belanda, Sukarman memilih menyerahkannya pada mekanisme
hukum.
Tragedi Rawagede terjadi pada 9 Desember 1947 pukul 04.00 WIB. Dengan
alasan mencari pejuang Indonesia, Kapten Lukas Kustaryo, serdadu
Belanda memasuki Desa Rawagede yang sekarang bernama Balongsari.
Saat itu, sekitar 300 tentara Belanda yang dipimpin Alphons Wijnen
menggeledah rumah-rumah penduduk. Setiap orang yang ditemukan, terutama
laki-laki, dikumpulkan di tanah lapang. Mereka ditanya tentang
keberadaan para pejuang yang menyembunyikan Kapten Lukas Kustaryo. Tak
ada yang menjawab.
Pemimpin tentara Belanda kemudian memerintahkan untuk menembak mati
semua penduduk laki-laki, termasuk para remaja belasan tahun. Beberapa
orang berhasil melarikan diri ke hutan, walaupun terluka kena tembakan.
Hari itu tentara Belanda membantai 431 penduduk Rawagede, semuanya
laki-laki. Sementara Belanda dalam Nota Ekses tahun 1969 mengatakan
jumlah korban hanya 150 orang.
Hujan yang mengguyur di hari nahas itu membuat suasana makin menyayat.
Cairan merah, air bercampur darah menggenangi desa. Perempuan dan
anak-anak mengubur mayat dengan tenaga dan alat seadanya. Bau mayat,
dari kubur yang tak begitu dalam, tercium selama berhari-hari. Ini
tindakan kriminal paling kejam, paling brutal, dan paling berdarah yang
dilakukan Belanda dalam kurun waktu 1945 sampai 1949.
No comments:
Post a Comment