Sebelumnya, rumah Tarno, di Jalan Duku Timur, Kelurahan Semper Barat, Cilincing, Jakarta Utara, hanya "dihiasi" sebuah televisi kuno yang sudah tidak berfungsi.
"Saya kalau mau nonton teve ya di rumah tetangga. Sekarang bisa nonton The Master di rumah sendiri. Rasanya seneng banget, nggak pernah kebayang saya bisa main sulap di televisi dan ketemu pesulap terkenal," kata Pak Tarno .
Awalnya, pria yang sebelumnya lama tinggal di Warakas, Tanjung Priok ini, mengaku ragu ketika seorang tetangga menyarankan dia ikut audisi The Master.
"Ya waktu itu saya kan tidak punya uang. Setelah uang buat ongkos cukup, saya mendaftar The Master. Alhamdulillah sekarang diajak bergabung RCTI," kata Pak Tarno.
Sejak kecil, Tarno diasuh neneknya di Brebes, Jawa Tengah, karena ayahnya meninggal dunia dan ibunya pergi ke Sumatera untuk bekerja.
"Nenek saya orang tidak mampu, jadi saya harus bekerja, sejak kecil saya sudah bekerja angon kambing dan sapi milik tetangga. Tapi dibayarnya pakai padi dan diberikan pada nenek," kenang Pak Tarno.
Sekitar tahun 1974 ia nekad merantau ke Jakarta dengan menumpang kereta barang, hingga terdampar di Warakas, Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Saat itu dia hanya punya modal cangkul saja, tetapi paculnya tidak digunakan karena ada peluang menjadi pedagang minyak tanah. Setelah jual minyak tanah, saya jual air keliling, dan yang terakhir sampai sekarang saya jualan mainan anak-anak keliling dengan sepeda dan mangkal di sekolahan .
Berdagang mainan anak-anak setiap hari berpindah dari sekolah satu ke sekolah lainnya, ternyata tidak juga mencukupi hidupnya. Bahkan untuk makan sehari-hari saja kadang tidak cukup. Dia nekad niat puasa setiap hari dan sering juga tidak punya makanan untuk buka puasa, katanya.
Meskipun miskin dan serba kekurangan, namun Pak Tarno tetap tabah dan terus menekuni pekerjaannya berjualan mainan anak-anak. Selain berpuasa dia pun sering sholat hajat di tengah malam dan dilanjutkan dengan dzikir.
Suatu malam Pak Tarno seperti ketemu wali. Pak Tarno tidak sadar saat itu dia sudah berpuasa selama tiga tahun. Setelah dzikir, tiba-tiba mulurnya secara otomatis mengucapkan kata-kata seperti bahasa Jawa kuno, dia hanya mengerti artinya sebagian saja, ungkap Pak Tarno.
Dia pun mengaku ada tiga kalimat panjang yang secara cepat bisa dihafalnya. Keesokan harinya, dia hanya bisa termenung memikirkan kejadian malam itu. Tetapi akhirnya dia mengabaikan yang telah terjadi.
Tetapi, ketika akan berangkat menjajakan dagangannya, Pak Tarno tiba-tiba mempunyai ide membuat permainan sulap. Dia mulai mencoba-coba permainan dari kertas dan terpikir kembali olehnya kata-kata bahasa Jawa kuno yang diperolehnya di tengah malam sebelumnya.
"Itu seperti mantra, tetapi saya pakai kata-kata itu sampai sekarang sebagai bumbu-bumbu sulap yang saya mainkan. Setelah itu, seperti ada ide terus untuk membuat sulapan. Ya maklum karena saya tidak punya modal jadi buat sulap yang sederhana saja," katanya.
Karena penghasilannya pas-pasan, bapak enam putra ini terpaksa menitipkan anak-anaknya kepada familinya. Keikhlasan Pak Tarno menjalani hidup hingga kini dan dibantu oleh istrinya yang menjadi buruh cuci baju di tetangganya, terus dipertahankan.
No comments:
Post a Comment